Senin, 14 Desember 2009
puisi tanpa judul
aku
puisi tanpa judul
tanpa makna yang tersirat
menyalak kepada zaman
tidak ada yang mau mendengarkan
syair-syair itu . . .
hanyalah dusta
dengan kepentingan-kepentingan tidak berarah
halal dan haram
cukup ditelan . . .
maka semua selesai
seiring deviasi menghasilkan sanksi
inilah aku . . .
sampan ditelan sunyi
Sabtu, 28 November 2009
pagi . . .
dalam secangkir kehangatan
mereguknya dalam-dalam
karena semalaman mengarungi malam
lelah ini
aku persembahkan pada kearifan pagi
entah itu linang embunnnya . . .
untaian nafasnya . . .
lirih suaranya . . . yang selalu membunyikan asa
mengajak manusia-manusia
rentangkan syukur padaNya
aku . . .
pagi . . .
enggan beranjak
Minggu, 22 November 2009
harusnya kau rasakan itu
Rasakan sejuknya lautku
Kembalilah ke pelukan ombak
Bersama kau selami dalamnya tangisan hujan pada samudra
Mengapa tidak kau campakkan siang dan pagi??
Lalu tebarkan sayangmu sedalam lautan . . .
Pada senyap angin dan raungan bahasa malam
Sekarang . . .
Kemana kau akan bernaung?
Duka terlewat dahaga
Pada gempita kelap-kelip rona senja
Tidak kau lihat semua keajaiban nyata
Hanya merunduk . . .
Menghirup sepoi nelangsa . . .
Yang kau cari . . .
Sebenarnya ada pada bentang para pendusta itu
Mengapa tidak kau penggal kepala mereka??
Untuk kau persembahkan pada malammu
Nyalimu tidak lebih dari keringnya tanah lahirmu . . .
Sesaknya nafas rakyatmu . . .
Ketukkan jantung mereka yang lemah
angkasa untuknya
memasrahkan sejuta ingin
dari setiap asa pendusta
terlalu ironis
untuk menyapa hamparannya
kosong
mengering
dan ada pecahan batu
bertikai di bantaran sungai
kuharap itu
bukan aku
tapi . . .
tidak salah jika dia
ingin mereguk beningnya
sudi menahan
desakan angin
sayapnya lelapkan siang
hingga sanggup dia patahkan
tangisan dunia
jatuh di genangan canda semesta
redakan gerimis
tentang merenda kebahagiaan
asalkan
mereka tidak rasakan
badai
yang ia rasakan
tempatnya mencari
kerinduan-kerinduan
kepada . . .
angkasa
ketika sayapnya
terluka untuk menginstirahatkannya
demi perjalanan berikutnya
Rabu, 18 November 2009
pergi
coba mencari kemana riak pesisir
menenggelamkannya
menyurutkan niat sesat
karena mencarinya adalah sekat
relakan dia . . .
Minggu, 08 November 2009
mereka yang ada di sana
tak pernah kuhela nafas seikhlas gunung membelah samudera
ketika melihat sebagian tubuh ini . . . bahagia
hanya di sana . . .
kutitipkan kerinduan
kepada sekelompok orang yang habiskan cerita dengan tawa
yang biarkan celah syukur menganga . . .
hingga aku katakan . . .
terima kasih
seharusnya . . .
sajak tempatku berpijak
kupaksakan muntahkan sejuta kata
tanpa arti dan tanpa makna
untuk kalian yang masih ada di sana
tolong . . .
setangkup doa lagi
untukku . . .
aku mengemis demi bahagiaku
kalian di sana
pahamilah . . .
makanya separuh bahagia itu . . .
kupercikan ke semua tempat
yang pernah terlewat
sejauh harapku tentang . . .
bahagia itu akan nyata
akan ada seutuhnya
Rabu, 04 November 2009
dimana kau? jawaban
melangkah tanpa lentera
di depan sana buntu atau tidak?
hanya perasaan yang terus menyerupai setan
membelenggu logika berpikir
kumohon jangan hantui
tidak ada yang kupunya
seharusnya kau tidak usah harapkan apa-apa
berjalan di jalan ini
biarkan jejak ini tidak ada satupun yang mengikuti
kata hati ini lebih berarti
dan aku sama sekali tidak bermaksud untuk meninggi
sesunggugnya aku manusia sunyi
betul-betul tidak layak
kupinta harap beranakpinak
aku hanya hamba yang pantas diinjak-injak
disiram dengan arak
jalan ini . . .
senyap sambil kuratap
hidup ini . . . aku merindukan jawab
Selasa, 22 September 2009
Pelipur dosa
Jangan ada sekat di setiap celah jari
biarkan rapat
mengunci pintu keresahan hati
pada gelagat bangsat dunia
dekap erat deras beningnya
cumbu dia....
Biarkan bibirmu dan bibirnya menyatu
biarkan sucinya
setubuhi ragamu
genggam kesejukkan yang selama ini kau cari
merasa terhibur pada endapan syukur
bisa gagahi keheningannya
tambatan sejuta pilu
dan biarkan semua berlalu
Senin, 21 September 2009
pengembara jalang
Masih sanggupkah?
Kau relakan sepasang kakimu untuk melangkahi siang
Bernaung di bawah garangnya matahari
Tidakkah kau temukan elang siang yang mungkin
Jauh lebih tangguh dari pengembara sepertimu
Tidakkah ingin kau belajar darinya
Bagaimana melebarkan sayap dan membunuh apa saja yang bergerak
Haram kau bersujud pada siang
Apalagi sampai mencumbu kakinya
Lebih pantas kau hadiahkan legitnya air liurmu
Untuknya . . . sahabat dalam pencarianmu
Kau bukan penyair!
Yang mempuitisi siang demi uang atau senang (mungkin?)
Siang selalu memukau
Penyair yang mengelukan
Pengembara yang akan taklukan
sajak
segelas . . . dua gelas . . . .
sesukamu . . .
sampai haus yang matikanmu . . . membisu!
setiap bait itu
kumohon jangan kau pernah rindu
dari bilik purnama nanti dia akan datang
menemuimu . . .??!!
jangan pernah kau panggil . . .
sajakku bukan babu
yang datang setiap kali kau mau!
jika kau ingin menemuiku sajakku
ajaklah orang lain bersamamu
meminang fatamorgana
dengarkan "dia" bicara
Menyaksikan riak kecil empati langit
Kepada rindang khatulistiwa
Mungkin wewangian bidadari mustahil tercicipi lagi di sana
Sejarah yang merekam pencarian manusia
Pada sela-sela kebahagiaan makhluk lain
Berebut indahnya duniawi
Meletakkan naluri sebagai insan-insan
Hanya bisa agungkan tirani
Tai kucing dengan nurani
Lebih baik menajamkan pedang
Agar dimulainya perang
Daripada memadamkan arang
Lalu tersenyum pulang
Tempatmu berpijak
Kini telah retak
Sadis
Mengais cinta
merana......
Dibinasakan cinta
percuma.....
Selalu dicaci dunia
karena.....
Cinta yang sia-sia
dimana?
Cinta tersisa
kudamba........
Bukan cinta pura-pura
tak pula.....
Kekasih utusan dewa
yang hanya.....
Imajinasi belaka
Disaksikan bulan [2]
nafsu liar tak kunjung mati
paras wanita-wanita lacur
birahi yang terus mengucur
malam
malam
malam
malam
entah pesona apa lagi yang kau tawarkan
entah kehancuran apalagi yang kau janjikan
keparat bangsat....malam
jangan pernah kau tawarkan keadilan!
Disaksikan bulan [1]
mengisi setiap relung kosong
jiwa-jiwa merindukan sujudnya bintang dan bulan
derai pilu tabir menguntit dari belakang
mata-mata dari langit
mengawasi setiap jalannya hidup nan sarkas
resapi hela demi helanya kepenatan
bersandar pada dinding bambu
kembali meresapi hela demi hela kepenatan
tidak merasa sendi-sendi ini
terhadap panggilan roh-roh hampa
yang menguliti kemanusiaan